Allah itu Mahatinggi, itulah yang diyakini dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, tidak seperti yang diyakini oleh aliran Jahmiyah dan yang mengikuti pendapatnya.
Imam Al-Muzani rahimahullah berkata,
عَالٍ عَلَى عَرْشِهِ وَهُوَ دَانٍ بِعِلْمِهِ مِنْ خَلْقِهِ
2- Allah itu Mahatinggi di atas ‘Arsy-Nya. Allah itu dekat pada hamba-Nya dengan ilmu-Nya.
Tidak Boleh Ada Ijtihad dalam Masalah Allah itu Mahatinggi
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Masalah Allah itu Mahatinggi bukanlah masalah yang perlu ada pertentangan di dalamnya yang di mana boleh berijtihad. Bahkan masalah ini bukanlah diingkari seperti masalah Khawarij, Syi’ah, Qadariyyah, dan Murjiah. Para ulama ketika mengingatkan tentang masalah Allah itu Mahatinggi lebih dari pembahasan pengingkaran pada aliran yang tadi disebutkan. Perkataan para ulama dalam hal ini sudah masyhur dan mutawatir.
Imam Abu Bakr Ibnu Khuzaimah—yang digelari imamnya para imam—menyatakan sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Hakim, ‘Siapa yang tidak mau mengatakan Allah itu di atas langit, di atas ‘Arsy, terpisah dari makhluknya, ia wajib diminta untuk bertaubat.’” (Talbis Al-Jahmiyyah, 2:41-42, dinukil dari An–Nahju Al-Asma’, hlm. 234-235)
Ibnu Khuzaimah dalam perkataan selanjutnya mengkafirkan orang Jahmiyyah yang menolak Allah itu Mahatinggi. Yang mengkafirkan Jahmiyah pula adalah Al-Hasan bin ‘Isa (bekas budak ‘Abdullah bin Al-Mubarak) dan ‘Abdurrahman bin Mahdi.
Keyakinan Jahmiyah tentang Keberadaan Allah Dibantah oleh Para Ulama
Telah shahih dari ‘Ali bin Al-Hasan bin Syaqiq, dia berkata, “Aku berkata kepada Abdullah bin Al-Mubarak, bagaimana kita mengenal Rabb kita ‘azza wa jalla. Ibnul Mubarak menjawab, “Rabb kita berada di atas langit ketujuh dan di atasnya adalah ‘Arsy. Tidak boleh kita mengatakan sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang Jahmiyah yang mengatakan bahwa Allah berada di sini yaitu di muka bumi.” Kemudian ada yang menanyakan tentang pendapat Imam Ahmad bin Hambal mengenai hal ini. Ibnul Mubarok menjawab, “Begitulah Imam Ahmad sependapat dengan kami.” (Lihat Mukhtashar Al-‘Uluw li Adz-Dzahabiy, hlm. 152)
Diriwayatkan dari Abudllah bin Ahmad ketika membantah pendapat Jahmiyah dan beliau membawakan sandanya dari Ibnul Mubarak. Ia ceritakan bahwa ada seseorang yang mengatakan pada Ibnul Mubarak, “Wahai Abu ‘Abdirrahman (Ibnul Mubarak), sungguh pengenalan tentang Allah menjadi samar karena pemikiran-pemikiran yang dilontarkan oleh Jahmiyah.” Ibnul Mubarak lantas menjawab, “Tidak usah khawatir. Mereka mengklaim bahwa Allah sebagai sesembahanmu yang sebenarnya berada di atas langit sana, namun mereka katakan Allah tidak di atas langit.” (Lihat Mukhtashar Al-‘Uluw li Adz-Dzahabiy, hlm. 152)
Al-Hafizh Abu ‘Abdirrahman bin Al Imam Ahmad dalam kitab bantahan terhadap Jahmiyah, ia mengatakan, ‘Abbas Al Ambari telah menceritakan padaku, ia mengatakan, Syadz bin Yahya telah menceritakan pada kami bahwa ia mendengar Yazid bin Harun ditanya tentang Jahmiyah. Yazid mengatakan, “Siapa yang mengklaim bahwa Allah Yang Maha Pengasih menetap tinggi di atas ‘Arsy namun menyelisih apa yang diyakini oleh hati mayoritas manusia, maka ia adalah Jahmiy.” (Lihat Mukhtashar Al-‘Uluw li Adz-Dzahabiy, hlm. 168)
‘Abdurrahman bin Mahdi mengatakan bahwa Jahmiyah menginginkan agar dinafikannya pembicaraan Allah dengan Musa, dinafikannya keberedaan Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy. Orang seperti ini mesti dimintai taubat. Jika tidak, maka lehernya pantas dipenggal. (Lihat Mukhtashar Al-‘Uluw li Adz-Dzahabiy, hlm. 170)
Ilmu Allah yang Di Mana-Mana, Bukan Dzat Allah
Disebutkan oleh Adz-Dzahabi, Basyr Al-Haafi memilki pemahaman aqidah yang disebutkan oleh Ibnu Battoh dalam Al-Ibanah dan selainnya, di antara perkataan beliau adalah: “Beriman bahwa Allah menetap tinggi (beristiwa’) di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana yang Allah kehendaki. Namun meski begitu, ilmu Allah di setiap tempat.” (Lihat Mukhtashar Al-‘Uluw li Adz-Dzahabiy, hlm. 185)
Ibrahim Al-Harbi berkata mengenai perkataan shahih darinya, yaitu Ahmad bin Nashr berkata ketika ditanya mengenai ilmu Allah, “Ilmu Allah selalu bersama kita, sedangkan Dzat-Nya tetep menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya.” (Lihat Mukhtashar Al-‘Uluw li Adz-Dzahabiy, hlm. 186-187)
Harb bin Isma’il Al-Karmani, ia berkata bahwa ia berkata pada Ishaq bin Rohuwyah mengenai firman Allah,
مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya.” (QS. Al Mujadilah: 7). Bagaimanakah pendapatmu mengenai ayat tersebut?”
Ishaq bin Rohuwyah menjawab, “Dia itu lebih dekat (dengan ilmu-Nya) dari urat lehermu. Namun Dzat-Nya terpisah dari makhluk. Kemudian beliau menyebutkan perkataan Ibnul Mubarok, “Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya.”
Lalu Ishaq bin Rohuwyah mengatakan, “Ayat yang paling gamblang dan paling jelas menjelaskan hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Ar-Rahman (yaitu Allah) menetap tinggi di atas ‘Arsy.” (QS. Thaha: 5) [Makna Istiwa’ sebagaimana kata Abu ‘Umar yaitu al-istiqrar fi al-‘uluw, artinya menetap tinggi. Lihat An–Nahju Al-Asma’, hlm. 233]
Al-Khollal meriwayatkannya dalam As Sunnah dari Harb. (Lihat Mukhtashar Al-‘Uluw li Adz-Dzahabiy, hlm. 191)
“Abu Bakr Al-Khallal mengatakan, telah mengabarkan kepada kami Al-Maruzi. Beliau katakan, telah mengabarkan pada kami Muhammad bin Shobah An Naisaburi. Beliau katakan, telah mengabarkan pada kami Abu Daud Al-Khonaf Sulaiman bin Daud. Beliau katakana, Ishaq bin Rohuwyah berkata, “Allah Ta’alaberfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”. Para ulama sepakat (berijma’) bahwa Allah berada di atas ‘Arsy dan beristiwa’ (menetap tinggi) di atas-Nya. Namun Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang terjadi di bawah-Nya, sampai di bawah lapis bumi yang ketujuh. (Lihat Mukhtashar Al-‘Uluw li Adz-Dzahabiy, hlm. 194)
Adz-Dzahabi rahimahullah ketika membawakan perkataan Ishaq di atas, beliau rahimahullah mengatakan, “Dengarkanlah perkataan Imam yang satu ini. Lihatlah bagaimana beliau menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) mengenai masalah ini. Sebagaimana pula ijma’ ini dinukil oleh Qutaibah di masanya.” (Lihat Mukhtashar Al-‘Uluw li Adz-Dzahabiy, hlm. 194)
Semoga Allah memberikan kita taufik untuk memiliki akidah yang benar.
Referensi:
- An–Nahju Al-Asma’ fi Syarh Asma’ Allah Al-Husna. Cetakan keenam, Tahun 1436 H. Dr. Muhammad Al-Hamud An-Najdi. Penerbit Maktabah Al-Imam Adz-Dzahabi.
- Fiqh Al-Asma’ Al-Husna. Cetakan pertama, Tahun 1436 H. Syaikh ‘Abdurrazaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr. Penerbit Ad-Duror Al-‘Almiyyah.
- Mukhtashar Al-‘Uluw li Adz-Dzahabiy. Cetakan kedua, 1412 H. Tahqiq: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Penerbit Al-Maktab Al-Islamiy.
- Syarh As-Sunnah. Cetakan kedua, Tahun 1432 H. Imam Al-Muzani. Ta’liq: Dr. Jamal ‘Azzun. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj.
—
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com